Manjadda wa Jadda

siapa yang bersungguh-sungguh dialah yang akan mendapatkan

Senin, 18 April 2016

Kilas Balik Pendidikan di Indonesia



Sejarah Pendidikan adalah Sejarah Penindasan Kelas
“ Jangan tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit–bandit yang sejahat–jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya. “
( Pramoedya Ananta Toer )

Jika kita membicarakan dunia pendidikan, kita pasti teringat akan sosok John Amos Comenius (Jan Komensky, 1592-1670 M), ia adalah seorang uskup Moravian Brethren yang terkenal dengan bukunya Didactica Magna (Seni Pengajaran yang Agung). Comenius telah berhasil menjabarkan berbagai prinsip pendidikan yang dapat digunakan oleh pendidikan di negara kita saat ini yang tengah dilanda berbagai kemelut pendidikantanpa batas dan multidimensional sehingga hanya mampu melahirkan pribadi-pribadi yang sama sekali tidak bisa diharapkan sebagai generasi masa depan bagi peradaban suatu negeri yang kaya, indah nan elok ini. Lalu apa prinsip-prinsip ideal bagi pendidikan menurut John Amos Comenius itu? Nah sebelum  menyebutkan prinsip-prinsip ideal pendidikan itu, agaknya jauh lebih baik ketika terlebih dahulu kita mencoba melihat bagaimana historis pendidikan itu sendiri mulai fase komunal primitive sampai pada fase masyarakat berkelas (perbudakan, feodalisme dan kapitalisme), terutama sejarah awal mula munculnya kata sekolah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi lahirnya sekolah-sekolah modern seperti sekarang ini.
Karl Marx (1818-1883 M) melalui filsafat materialisme dialektika historisnya menyakini bahwa basis bagi pendidikan adalah perkembangan ekonomi sebagai basic struktur, yaitubagaimana cara manusia menghadapi alam untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya dan sekaligus mengembangkannya. Sebagaimana menurut analisis Marx yang mengatakan bahwa fase awal manusia adalah komunal primitive, di mana pada waktu itu orang-orang primitive masih menggantungkan hidupnya pada segala sesuatu yang disediakan oleh alam baik berupa binatang maupun tumbuhan, itu dikarenakan mereka belum mampu melakukan praktek-praktek produksi secara mandiri, sehingga yang bisa mereka lakukan hanyalah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain demi mempertahankan hidup ( corak kehidupan ini dikenal dengan istilah nomaden ). Namun seiring berjalannya waktu terhadapsegala fenomena/kontradiksi alam yang terjadi dalam berbagai macam kondisinya,mereka menjadikan semua itu sebagai guru.Orang-orang primitive pada waktu itu belajar dari alam, yaitu dari pengalaman-pengalaman yang mereka lihat maupun rasakan secara langsung. Sebagai contoh ketika orang-orang primitive mengetahui bahwa bebatuan tajam dapat membuat kaki mereka terluka, maka mereka segera mengambil pelajaran dari pengalaman itu bahwa jika binatang terkena benda tajam, pun binatang tersebut akan terluka dan bahkan benda tajam dapat membuat binatang itu langsung mati. Sehingga  orang-orang primitive tersebut segera membuat peralatan berburu baik dari kayu maupun batu yang diruncingkan agar lebih memudahkan mereka dalam menangkap binatang buruannya. Dengan menjadikan alam sebagai guru, orang-orang primitive pun mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya dalam menciptakan alat-alat produksi yang kelak lebih dekenal dengan istilah IPTEK.Fase “sekolah alam” ini berlangsung selama berjuta-juta tahun.
“Manusia memiliki hirarkis kebutuhan dalam hidupnya yang dimulai dari kebutuhan fisik (ekonomi), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kasih sayang (cinta), kebutuhan akan prestasi (prestise) dan kebutuhan untuk aktualisasi diri”
(Abraham Maslow)
Dialektika sejarah adalah realitas yang tak ternafikan.Dengan menjadikan pengalaman sebagai pembentuk pengetahuan baru, maka mulailah orang-orang kuno dapat membuat alat-alat produksinya sendiri (productive force) yang kemudian berimplikasi terhadap interaksi/relasi social pada waktu itu. Jika pada fase komunal primitive alat-alat produksi dimiliki secara kolektif, orang-orang kuno juga selalu bersama-sama dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya sampai pembagian secara adil atas bahan makanan yang telah mereka dapatkan, akantetapi kondisinya sangat jauh berbedapada fase peralihan dari komunal primitive ke perbudakan.Pada fase peralihan itu ketika orang-orang kuno telah mampu membuat productive forcesendiri maka mereka mulai memisahkan diri dari komune induk dan membuat gen/klan-klan yang baru. Terbentuknya gen/klan-klan baru tersebut meniscayakan pengklaiman akan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan inilah yang merupakan embrio terbentuknya tatanan masyarakat berkelas di mana terjadi kompetisi antara klan yang satu dengan klan yang lain. Tidak hanya cukup sampai di situ, setelah tatanan yang ada melegitimasi kepemilikan pribadi dan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia di samping ketersediaan bahan makananyang semakin menipis, maka mereka mulai berfikir untuk mengekspansi wilayah lain yang dinilai memiliki ketersediaan sumber daya alam melimpah, dan inilah awal mula sejarah penjajahan/kolonialisasi yang selalu dilakukan oleh Negara-negara dunia pertama penganut system ekonomi Kapitalisme-Neoliberalisme kepada Negara-negara dunia ketiga.
Pada fase komunal primitive di mana belum terjadi klaim-klaim kepemilikan pribadi, lembaga pendidikan/sekolah pada waktu itu belum terbakukan. Akan tetapi pada masyarakat berkelas (perbudakan, feodalisme dan kapitalisme),muncullah segelintir orang-orang yang memposisikan dirinya sebagai pemilik otoritas akan pengetahuan dan alat-alat produksi/teknologi serta tenaga-tenaga produksi(productive forces). Di zaman perbudakan orang-orang yang dinilai pandai meramalkan alam atau orang-orang yang dinilai lebih kuat dari yang lain dalam menyelesaikan segala persoalan-persoalan hidup dan menghadapi segala tantangan alam termasuk dalam menghadapi musuh-musuh dari klan lain, maka merekadiberikan kepercayaan oleh anggota masyarakatnya untuk menjadi pemimpin atau menempati kedudukan tertentu dalam                                               masyarakatnya yangpada akhirnya merekalah yang menguasai segalanya, dan kekuasaan itu diturunkan dari generasi ke generasi sebagai alat legitimasi penindasan.
Tindakan monopoli yang dilakukan oleh segelintir orang atas pengetahuan, alat-alat produksi dan tenaga-tenaga produksi mengantarkan mereka pada praktek eksploitasi terhadap manusia yang berada di bawah kekuasaan mereka yang salah satu caranya melalui pendidikan. Pertama-tama proses pendidikan dijalankan secara ekslusif, elitis dan tidak demokratis sehingga hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang dari kalangan elit penguasa, aristokrasi dan kalangan agamawan saja, sedangkan rakyat jelata tetap berada pada kebodohannya. Kemudian di samping eksklusivitas pendidikan tersebut, pendidikan juga berperan sebagai alat hegemoni kekuasaan melalui dogma-dogma irasional kaum agamawan yang bertujuan untuk melanggengkan tatanan penindasan yang tanpa adanya resistensi dari rakyat tertindas. Realitas ini dalam sejarah manusia terjadi pada fase feodalisme (monarki absolute)yang sekaligus menandai awal mula munculnnya istilah sekolah (schola, scholae ; bahasa latin)yang berarti waktu luang. Jadi pada waktu itu ketika para raja memiliki waktu luang maka mereka pergunakannya untuk memberikan pengajaran kepada anak-anaknya yang terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang sangat dibutuhkan demi kelanggengan kekuasaannya, misalnya pengetahuan tentang seni berperang/bela diri, administrasi Negara dan kesusastraan.Namun setelah para raja disibukkan dengan banyaknya tugas-tugas kerajaan di samping aktivitas pelampiasan libido seksualnya dengan para selir kerajaan, maka mengharuskan tugas memberikan pengajaran kepada anak-anak mereka dialihkan kepada orang-orang yang dianggap paling bijakpada waktu itu sampai tiba waktunya Plato mendirikan academia, Pestalozzi menerapkan system clasikal Pestalozzy sampai pada John Amos Comenius yang mengembangkan system clasikal Pestalozzy dalam bentuk yang lebih modern.
System monarki absolute perlahan-lahan bergerak menuju kehancuran seiring dengan majunya gerak material sejarah yang melahirkan kekuatan-kekuatan produksi baru.Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh melalui eksperimentasi dan bersifat objektif,telah berkontribusiuntuk mempermudah manusia dalammemenuhi segala kebutuhan hidupnya. Sehingga fase feodalisme yang identik dengandogma-dogma irasionalnya tergantikan dengan fase Kapitalisme yang paradigmanya lebih rasional dan objektif.Sebagai sebuah contoh bagaimana sosok Copernicus melalui tesisnya yang mengatakan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari (teory Geosentris) dengan menjadikannya sebagai antitesa atas dogma Ptolomeus yang ratusan tahun telah membodoh-bodohi rakyat dengan mengatakan bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi (teory Heliosentris) sekalipun dia harus dihukum mati oleh otoritas gereja yang pada waktu itu ternyata berkonspirasi dengan kekuasaan raja.
“Peserta didik layaknya sekrup-sekrup untuk mengencangkan mesin-mesin pabrik yang harus dicetak oleh lembaga pendidikan”
(Adam Smith)
Pada fase kapitalisme konteksnya tetap sama dengan fase feodalisme, di mana para borjuasimelalui pendidikan melakukan pengorganisasian/penanamkan dan mengembangkan paham rasionalisme dan liberalisme dengan tujuan melahirkan ilmuwan-ilmuwan dan pemikir-pemikir yang akan berperan untuk menghilangkan sisa-sisa pendidikan feodal yang sangat kental dengan dogma-dogma irasionalnya. Akhirnya tatatan monarki absolute pun hancur dengan mengambil alih peran-peran pendidikan dan gerakan-gerakan massa menentang penguasa doktator-otokrasi dan ini ditandai dengan lahirnya revolusi Prancis yang dipelopori oleh kaum kapitalis.Akan tetapi ada satu warisan feodal yang tetap dipertahankan oleh tatanan kapitalisme, yaitu kaum borjuasi kapitalis (pemilik modal)tetap mengklaim kepemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi yang meliputi alat dan tenaga-tenaga produksi.Seiring dengan terjadinya perubahan corak/hubungan produksi kapitalis di mana para pemilik modal dalam mengelola perusahaannya meniscayakan praktek-praktek eksploitasi buruh (proletariat) agar mendapatkan keuntungan yang besar. Sehingga system produksi ini mengharuskan mereka memaksa institusi-institusi pendidikan mereduksi ideologinya menjadi developmentalisme yang hanya beroirentasi profit dan selalu menguntungkan pihak pemilik modal yang sejatinya pendidikan adalah sebagai alat untuk mamanusiakan manusia (Paulo Freire).
“Pendidikan adalah alat perlawanan, di mana ilmu pengetahuan yang diperoleh peserta didik mesti dijadikan sebagai senjata bagi transformasi social menuju tatanan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan”
(Karl Marx)
“Jika kita bertanya kepada para mahasiswa hari ini, “ apa tujuan anda kuliah? ” maka sontak sebahagian besar dari mereka akan menjawab “ kami kuliah agar dengannya kami dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan.“
( Pramoedya Ananta Toer )
Dewasa ini pendidikan kita telah dibuat terperanjat dengan lahirnya sebuah regulasi baru titipan asing bernama Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang hakikinya akan meligitimasi praktek-praktek komersialisasi pendidikan. UU BHP berusaha menyulap pendidikan di negeri ini layaknya perusahaan.Segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan akademik dan non akademik dipaksakan untuk mengikuti logika/kehendak pasar.Akibatnya sudah dapat dipastikan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi alat perlawanan, melainkan hanya dapat mencetak generasi muda yang melanggengkan budaya-budaya kapitalistik (apatis, hedonis dan konsumeris) yang tidak pernah risau dan berenpati terhadap segala problem-problem social yang terjadi disekitarnya. Selain dari pada itu wajah pendidikan dalam cekraman Kapitalisme-Neoliberalisme melalui penerapan UU BHP akan keluar dari esensinya karena kesan eksklusif dan elitisnya. Sehingga tiada kata yang pantas terlontar dari lisan kita kecuali “Lawan” segala bentuk komersialisasi pendidikan, sebab menurut Jan Komensky pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang merepkan prinsip long life education dan education for every one yang terejawantahkandalam bentuk praktik pendidikan yang senantiasa mengedepankan nilai-nilai demokratis, ilmiah dan pelayanan pendidikan gratis bagi seluruh anak negeri.

Salam Intelektual !!!

0 komentar:

Posting Komentar